Selasa, 16 Juni 2009

Dia tak memilih terlahir berbeda

Tentang seseorang yang tidak pernah memilih untuk terlahir berbeda.

Namanya Een.Dia anak perempuan berumur 7 tahun, dan selalu memanggilku tante deb.

Dia anak perempuan teman setimku yang selalu ikut ke kantor setiap pulang sekolah. Praktis 5 hari dalam seminggu kami bertemua sekitar 6 jam per hari. Sebenarnya dulu sekali ada geliat dari teman-teman lain, yang menyarankan aku untuk melarang Een ikut ke kantor.

Tapi aku tak melakukannya. Semula alasannya hanya karena kasihan, kalau dia harus dititp ke pengasuh, itu hanya akan menambah beban ibunya. Tapi kian hari, ada alasan egois menyusul.Aku bekerja untuk anak-anak, jadi menurutku aku memerlukan Een untuk tetap “terbiasa” berinteraksi dengan anak-anak. Een mampu membuatku tetapterbiasa dnegan anak-anak.

Semua bertemu Een biasa aja.Selayaknya anak-anak. Sedikit bandel, selalu ingin tahu.

Ibunya dan seroang rekan berkata dia itu “beda”. Beda.Seorang dokter anak, setelah serangkaian tes, “curiga”Een seorang anak indigo.Dia juga berbeda karena konon katanya bisa melihat arwah.

Semula aku pikir, ah itu hanya ungkapan orangtua yang mengagumi anaknya.

tapi semakin dia terlihat beda. tatkala dia suka mengaku diri berumur 20 tahun, suka serkotbah dan tiba-tiba begitu religius, suka membaca dari arah terbalik, dan suka mengatakan betapa cengengnya diriku.Bahkan tak jarang dia “menguliahi” aku dan ibunya saat aku dan ibunya ngobrol dan terbahak-bahak di sela-sela pekerjaan.

Akhirnya aku mulai sedikit menerima, een memang berbeda.tapi aku lebih senang menyebutnya”tua sebelum waktu nya”.

Hari minggu kemarin, membuatku bisa semakin melihat Een memang berbeda.

Aku bertemu dengan guru tempat EEn sekolah.Bukan wali kelasnya siy, tapi dia juga wali kelas 1, tapi kelas sebelah Een. Jadi cukup tahu Een.

“Kenal Een dong.Gimana Een di sekolah?bandel kah?”, tanyaku sekedar untuk mencairkan suasana.
”Bandel siy engga.DIa itu beda.Ga pernah main sama temannya, selalu sendiri”

Besoknya hal itu aku konfirmasi ke ibunya.kemudian dengan naluri keibuannya, temanku itu berdialog dengan Een.

Dan memang benar.Dia tak pernah bermain dengan temannya.Dia selalu sendiri.Een yang kecil pun tak tahu “apa yang salah” dengan dirinya sehingga teman-temannya tidak mau bermain dengan dia.

Dia mengaku dia sering mengalah pada teman-temannya, agar diterima dalam permainan.tapi nihil.dia tetap saja sendiri.

Sering jika dia ingin bergabung dalam permainan teman-temannya, sekelompok anak-anak itu akan langsunmg menagatakan bahwa jumlah kelompok itu sudah pas.Yang itu berarti een tidak perlu bergabung.

Akhirnya dia snediri.

Bermain jual-jualan sendiri.dia medialogkan peran pembeli dan penjual.

bahkan, ketika teman-temannya bermain lari-larian, dia pun ikut berlari.Seolah-olah dia bagian permainan itu.DIA BERLARI pada saat anak-anak yang mengcuhkannya juga berlari.

kepada ibunya dia mengaku terkadang sedih karena ditolak oleh teman-temannya dan selalu bermain sendiri.tapi terkadang dia sudah terlalu terbiasa, sampai tak sedih lagi dengan keadaan itu.

Miris yang misterius menyusup di hatiku.

miris yang sukar untuk diungkapkan.

Aku menyadari dia sedikit berbeda, tapi kami bisa berhubungan baik.

Jadi dia memang “beda” tapi tak ada yang slaah dengan dirinya.

Dia hanya special.

Tapi kenapa dia yang masih semuda itu sudah merasakan penolakan hanya karena dia memiliki sesuatu yang berbeda dan masih samar, yang bahkan tidak pernah dimintanya.

Dia hanya anak-anak.Dia hanya ingin bermain-main dnegan anak-anak laiinya.

Apakah permintaan itu terlalu mahal untuk menjadi kenyataan hanya karena dia anak yang “sedikit berbeda”?

Dia tidak pernah minta untuk terlahir “terlihat sedikit berbeda”, tapi kenapa dia menjadi seperti terhukum karenanya?

Miris sekali.

Lantas ingatanku melayang pada teman-teman,

yang dengan kesadaran dan usaha keras membuat dirinya “terlihat berbeda”,

sampai-sampai hidup yang bisa sederhana dibuat sedemikian rumit.

mereka yang cukup dewasa untuk membiarkan dirinya “terseret pemikiran sendiri” demi sesuatu “label” ...berbeda, out of mainstream.dan yang lainnya.

wajar saja orang-orang itru, terlihat asing, karena toh itu yang mereka inginkan.

tapi kan Een tidak seperti itu. Dia bahkan belum punya kesadaran sendiri untuk memilih “berbeda”.dan dia harus menanggung pengucilan karena perbedaan di usianyayang dini.

...semoga ada kesempatan Een bertemu dengan ahli yang tepat yang bisa menunjukkan “kebedaan” Een dan segala “kebisaan dari kebedaan” itu. Semoga segera. sebelum dia semakin larut dalam “heningnya perbedaan dunianya” dan bisa berdamai dengan keadaan dirinya.yah semoga orang-orang terdekatnya pun bisa “mengistimeakan” kebedaannya dia...

dan dia tak lagi bermain sendiri...

0 komentar: